MAKALAH
PELAKSANAAN PENGEMBANGAN
KURIKULUM
MODEL GRASS ROOT
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas UAS
Dosen Pengampu : Dr. H. Imam Suraji, M. Ag
Mata
kuliah : Pengembangan
Kurikulum
Kelas : A
Disusun
Oleh :
LAILA
ZULFA
NIM. 2021 111 238
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
TAHUN
AJARAN
2013
PENDAHULUAN
Model atau rancangan
bahkan model dalam kurikulum adalah komponen yang sangat menentukan
keberhasilan sebuah proses pendidikan. Mendesain kurikulum bukanlah pekerjaan
yang ringan. Ia membutuhkan kajian yang komprehensif dalam rangka mendapatkan
hasil yang dapat mengakomodir tuntutan dan perubahan zaman. Mendesain kurikulum
berarti menyusun model kurikulum sesuai dengan misi dan visi sekolah. Tugas dan
peran seorang desainer kurikulum, sama seperti arsitek. Sebelum menentukan
bahan dan cara mengkonstruksi bangunan terlebih dahulu seorang arsitek harus
merancang model bangunan yang akan dibangun.
Ada
beberapa model pengembangan kurikulum :
1.
Admistrative
Model
Model pengembangan kurikulum ini
merupakan model paling lama dan paling banyak dikenal. Diberi nama model
administratif atau line staff karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang
dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi.
2.
Grass Root Model
Model pengembangan ini merupakan
lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan
datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Diberi nama
Grass root karena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum datang dari
seorang guru sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah.
Mencermati hal diatas maka penulis tidak dalam upaya
untuk menyajikan kurikulum dari aspek model-modelnya secara keseluruhan. Namun
akan lebih mencermati sekaligus mengkaji kurikulum sesuai dengan judul yang
ditugaskan kepada penulis, yaitu pelaksanaan pengembangan kurikulum dengan
menggunakan pendekatan Grass Roots.
PEMBAHASAN
PELAKSANAAN PENGEMBANGAN KURIKULUM MODEL GRASS ROOT
A. The Grass Root Model (Model Akar Rumput)
Model akar rumput dikembangkan oleh
Smith, Stanley & Shores pada tahun 1957. Model
pengembangan kurikulum ini merupakan kebalikan dari model administrasi, dilihat
dari sumber inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum.[1]
Jika pada model administrasi kegiatan pengembangan kurikulum berasal dari atas,
pada model yang kedua ini, inisiatif justru berasal dari bawah, yaitu para
pengajar yang merupakan pelaksana kurikulum di sekolah-sekolah. Model ini
mendasarkan diri pada anggapan bahwa penerapan suatu kurikulum akan lebih
efektif jika para pelaksananya sudah diikutsertakan sejak mula pada kegiatan
pengembangan kurikulum itu.
Pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum
model ini adalah pengembangan kurikulum secara demokratis, yaitu bersal dari
bawah. Pengembangan kurikulum model bawah ini menuntut adanya kerja antarguru,
antar sekolah secara baik, disamping harus ada juga kerja sama antarpihak
diluar sekolah khususnya orang tua murid dan masyarakat. Pada pelaksanaannya,
para administrator cukup memberikan bimbingan dan dorongan kepada para staf
pengajar setelah menyelesaikan tahap tertentu.[2]
Biasanya diadakan lokakarya untuk membahas hasil yang telah dicapai, dan
merencanakan kegiatan yang akan dilaksanakan selanjutnya. Pengikut lokakarya
disamping para pengajar dan kepala sekolah, juga orang tua peserta didik, dan
anggota masyarakat lainnya, serta para konsultan dan para narasumber yang lain.[3]
Bisa dikata, model administratif bersifat top-down (atasan-bawahan) sedangkan
model grass-roots adalah buttom-up
(dari bawah ke atas). Lebih lanjut juga bisa diketahui bahwa model
administratif merupakan sentralisasi penuh, sedangkan model grass-roots cenderung berlaku dalam sistem pendidikan yang kurikulumnya
bersifat desentralisasi atau memberikan peluang terjadinya desentralisasi
sebagian. Model pengembangan kurikulum grass-roots
dapat mengupayakan pengembangan sebagian komponen-komponen kurikulum dapat
keseluruhan, dapat pul sebagian dari keseluruhan komponen kurikulum atau
keseluruhan dari seluruh komponen kurikulum.[4]
B. Prinsip-prinsip model Grass Roots
Dalam pengembangan kurikulum model grass-roots perlu di ingat 4 (empat)
prinsip berikut yang dikemukakan oleh Smith, Stanley dan Shores (1957: 429);
1.
The curriculum will improve only as the professional
competence of teachers improves (Kurikulum hanya akan bertambah baik hanya kalau kompetensi profesional
guru bertambah baik)
2.
The competence of teachers will be improved only as
the teachers become involved personally in the prolems of curriculum revision (kompetensi guru akan menjadi bertambah baik hanya
kalau guru-guru menjadi personil-personil yang dilibatkan dalam masalah-masalah
perbaikan (revisi) kurikulum).
3.
If teachers share in shaping the goals to be attained,
in selecting, defining, and solving the problems to be encoutered, and in
judging and evaluating the results, their involvement will be most nearly assured
(jika para guru bersama menanggung bentuk-bentuk
yang menjadi tujuan yang dicapai, dalam memilih, mendefinisikan, dan memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi, serta dalam memutuskan dan menilai hasil,
keterlibatan mereka akan lebih terjamin).
4.
As people meet in face to face groups, they will be
able to understand one another better and to reach a consensus on basic
principles, goals, and plans (sebagai orang yang bertemu dalam kelompok-kelompok tatap muka, mereka
akan mampu mengerti satu dengan yang lain dengan lebih baik dan membantu adanya
konsensus dalam prinsip-prinsip dasar, tujuan-tujuan, dan perencanaan).
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots,
mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi
mungkin pula dapat digunakan untuk bidang studi sejenis pada sekolah lain, atau
keseluruhan bidang studi pada sekolah atau daerah lain, pengembangan kurikulum
yang bersifat desentralisasi dengan model grass rootsnya, memungkinkan
terjadinya kompetisi di dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang
pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.[5]
Ada beberapa langkah penyempurnaan kurikulum yang
dapat digunakan dalam pendekatan Grass Roots ini, yaitu:
1.
Menyadari adanya masalah
Pendekatan grass roots biasanya
diawali dari keresahan guru tentang kurikulum yang berlaku. Misalnya
dirasakan ketidakcocokan penggunaan strategi pembelajaran, atau kegiatan
evaluasi seperti yang diharapkan, atau masalah kurangnya motivasi belajar siswa sehingga kita
merasa terganggu, dan lain sebaginya. Pemahaman dan kesadaran guru akan adanya
suatu masalah merupakan kunci dalam grass roots. Tanpa adanya kesadaran masalah
tidak mungkin grass roots dapat berlangsung.
2.
Mengadakan refleksi
Kalau kita merasakan adanya masalah,
maka selanjutnya kita berusaha mencari
penyebab munculnya masalah tersebut. Refleksi dilakukan dengan mengkaji
literatur yang relevan misalnya dengan membaca buku, jurnal hasil penelitian yang relevan
dengan latar belakangnya. Dengan pemahaman tersebut, akan memudahkan bagi guru
dalam mendesain lingkungan yang dapat mengaktifkan siswa memperoleh pengalaman
belajar.[6]
3.
Mengajukan hipotesis atau jawaban sementara
4.
Menentukan hipotesis yang sangat mungkin dekat dan dapat dilakukan sesuai
dengan situasi dan kondisi lapangan.
5.
Mengimplementasikan perencanaan dan mengevaluasinya secara terus-menerus
hingga terpecahkan masalah yang dihadapi.
Pendekatan pengembangan KTSP mengkombinasikan pendekatan
sentralisasi (administratif) dan desentralisasi (grass roots). Hal ini
tercermin dari peranan pemerintah yang hanya mencantumkan Standar Kompetensi
Lulusan (SKL), Standar Kompetensi Mata Pelajaran (SKMP) dan Kompetensi Dasar
(KD), dan merupakan kewajiban satuan pendidikan untuk merumuskan indikator dan
meteri pokok serta pengembangan silabus sesuai dengan kebutuhan satuan
pendidikan dan lingkungan sekitarnya.[7]
C. Peranan Guru dalam Pengembangan Kurikulum yang
Bersifat Desentralisasi
Kurikulum desentralisasi disusun oleh sekolah
ataupun kelompok sekolah tertentu dalam suatu wilayah atau daerah. Kurikulum
ini diperuntukkan bagi suatu sekolah atau lingkungan wilayah tertentu. Pengembangan kurikulum semacam ini
didasarkan atas karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan
sekolah atau sekolah-sekolah tersebut. Dengan demikian kurikulum terutama
isinya sangant beragam, tiap sekolah atau wilayah mempunyai kurikulum senndiri, tetapi kurikulum
ini cukup realistis.[8]
Dalam model pengembangan yang bersifat grass roots seorang
guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya
pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan
dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun
seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah
memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitas biaya maupun
bahan-bahan kepustakaan, pengembangan kurikulum model grass root tampaknya akan lebih
baik. Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana,
pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling
tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun
kurikulum bagi kelasnya. Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau
sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang
studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat
desentralistik dengan model grass roots-nya, memungkinkan
terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada
gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya
lebih cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan the grass-root model. Kendati demikian, agar pengembangan kurikulum dapat
berjalan efektif tentunya harus ditopang oleh kesiapan sumber daya, terutama
sumber daya manusia yang tersedia di sekolah. [9]
D. Kelebihan dan Kelemahan Kurikulum Grass Roots
(Desentralisasi)
Bentuk kurikulum seperti ini mempunyai beberapa
kelebihan disamping juga kekurangan.
1.
Kelebihan
a.
Kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat setempat.
b.
Kurikulum sesuai dengan tingkat dan
kemampuan sekolah, baik kemampuan profesional, finansial maupun
manajerial.
c.
Disusun oleh guru-guru sendiri dengan demikian sangat memudahkan dalam
pelaksanaannya.
d.
Ada motivasi kepala sekolah (kepala sekolah, guru) untuk mengembangkan
diri, mencari dan menciptakan kurikulum yang sebaik-baiknya, dengan demikian
akan terjadi semacam kompetisi dalam pengembangan kurikulum.
2.
Kekurangan
a.
Tidak adanya keseragaman, untuk situasi yang membutuhkan keseragaman demi
persatuan dan kesatuan nasional, bentuk ini kurang tepat.
b.
Tidak adanya standar penilaian yang sama, sehingga sukar untuk
diperbandingkan keadaan dan kemajuan suatu sekolah/wilayah dengan
sekolah/wilayah lainnya.
c.
Adanya kesulitan bila terjadi perpindahan siswa ke sekolah/wilayah lain.
d.
Sukar untuk mengadakan pengelolaan dan penilaian secara nasional.
e.
Belum semua sekolah/daerah mempunyai kesiapan untuk menyusun dan
mengembangkan kurikulum sendiri.
Untuk mengatasi kelemahan
bentuk kurikulum tersebut, bentuk campuran antara sentral-desentral dapat
digunakan. Dalam kurikulum yang dikelola secara desentralisasi dan sampai
batas-batas tertentu juga yang sentralisasi-desentralisasi, peranan guru dalam
pengembangan kurikulum lebih besar dibandingkan dengan yang dikelola secara
sentralisasi. Guru-guru turut berpartisipasi, bukan hanya dalam penjabaran
kurikulum induk ke dalam program tahunan/semester/catur wulan, atau satuan
pelajaran, tetapi juga didalam menyusun kurikulum yang menyeluruh untuk
ssekolahnya. Guru-guru turut memberi andil dalam merumuskan setiap komponen dan
unsur dari kurikulum. Dalam kegiatan seperti itu, mereka mempunyai perasaan
turut memiliki kurikulum dan terdorong untuk mengembangkan pengetahuan dan
kemampuan dirinya dalam pengembangan kurikulum.
Karena guru-guru sejak awal
penyusunan kurikulum telah diikutsertakan, mereka akan memahami dan benar-benar
menguasai kurikulumnya, dengan demikian pelaksanaan kurikulum di dalam kelas
akan lebih tepat dan lancar, pemikir, penyusun, pengembang dan juga pelaksana dan
evaluator kurikulum.[10]
SIMPULAN
Berdasarkan penjelasan sebagaimana telah dibahas pada bagian pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan dan kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengolahan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang akan digunakan dalam suatu sekolah itu sendiri.
Model pengembangan Grass roots ini merupakan inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Diberi nama Grass roots karena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum datang dari seorang guru sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah. Pendekatan grass roots hanya mungkin terjadi manakala guru memiliki sikap professional yang tinggi disertai kemampuan yang memadai. Sikap professional itu biasanya ditandai dengan keinginan untuk mencoba dan mencoba sesuatu yang baru dalam upaya untuk meningkatkan kinerjanya. Seorang professional itu akan selalu berusaha menambah pengetahuan dan wawasannya dengan menggali sumber-sumber pengetahuan. Ia juga akan selalu mencoba dan mencoba untuk mencapai kesempurnaan. Ia tidak akan puas dengan hasil yang minimal. Ia akan bisa tenang manakala hasil kinerjanya sesuai dengan target maksimalnya.
Dalam kondisi yang demikianlah grass roots akan terjadi.
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M. 1998. Pengembangan Kurikulum. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Mudlofir, Ali. 2011. Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan Agama Islam. Jakata: PT. Raja Grafindo Persada.
Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT.Rineka
Cipta.
Subandijah. 1996. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2009. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Imadi, Model Pengembangan Kurikulum Grass Roots,
imadiadi.blogspot.com, diakses pada tgl 02 Desember 2013.
Prayogo, Agung. Model
Pengembangan Kurikulum Grass Roots, file:
//Agunk's%
20Blog%20%20Model%20Pengembangan%20Kurikulum%20Grass%20Roots.htm, di akses pada 02 Desember 2013
[3] Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 71
[5]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum
(Teori dan Praktek), (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hlm.163.
[6] Imadi, Model Pengembangan
Kurikulum Grass Roots, imadiadi.blogspot.com, diakses pada tgl 02 Desember
2013.
[7] Ali Mudlofir, Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) dan Bahan Ajar dalam Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 38.
[8] Nana Syaodih Sukmadinata,
Pengembangan Kurikulum (Teori dan
Praktek), (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 201
[9] Agung Prayogo, Model Pengembangan Kurikulum Grass Roots,
file: //Agunk's% 20Blog%20% 20Model %20Pengembangan%20Kurikulum%20Grass%20Roots.htm, di akses pada 02 Desember 2013.
[10] Op, Cit,. Hlm. 201-202
Izin copas
BalasHapusLebih efektif mana pendekatan top down atau grassroots?
BalasHapus