Jumat, 14 Februari 2014

Mencuri dalam Pandangan Islam

MENCURI DALAM PANDANGAN ISLAM
Disusun guna memenuhi tugas UTS:
Mata kuliah: Fiqh II
Dosen pengampu : Masrur M. E. I



Disusun Oleh :
LAILA ZULFA
NIM: 2021 111 238
Kelas : F

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2012




PENGANTAR
            Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Besar, sebab atas petunjuk dan pertolongan-Nya, artikel yang berjudul Mencuri dalam Pandangan Islam ini dapat dipersembahkan kepada Bapak Masrur M. E. I dan pembaca yang budiman.
            Artikel ini hadir selain untuk memenuhi tugas juga untuk ikut berpartisipasi memperkaya khazanah literatur di bidang hukum Islam.
            Islam menanggulangi kasus pencurian dengan cara mendidik dan membersihkan jiwa manusia dengan akhlak yang luhur, agar jangan berkeinginan memiliki hak orang lain. di samping itu, Islam mengajak kaum muslimin agar giat bekerja mencari penghidupan; membenci pengangguran dan mencela sifat kikir atau terlalu mengejar keduniaan. 
            Islam juga menjamin penghidupan orang-orang yang invalid dan kaum fakir miskin dari harta orang-orang kaya di antara kaum muslimin. Kemudian, uang tersebut dikelola oleh pemerintah untuk diteruskan kepada yang berhak. Harta tersebut dinamakan harta zakat. Dengan demikian, maka Islam telah mencanangkan suatu sistem yang mampu menjamin kesejahteraan sosial bagi individu dan masyarakat. Setelah itu, kiranya tidak perlu seseorang melanggar hak-hak orang lain. dan barang siapa yang masih tetap membangkang dan tidak mau menuruti peraturan ini, atau masih mau mencuri, maka patut ia mendapat hukuman yang setimpal. 
            Berikut ini penjelasan Allah mengenai hukuman pencuri : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang”. (QS. 5 : 38). 
            Untuk selanjutnya akan dibahas masalah pencurian dalam islam secara lebih rinci. Semoga bisa sedikit memberi wawasan mengenai pencurian dari sudut pandang hukum islam.
         




ISI
Mencuri dalam Islam
            Mencuri adalah mengambil harta milik orang lain dengan tidak ada hak untuk dimilikinya tanpa sepengetahuan pemiliknya. Mencuri hukumnya adalah haram. Di dalam hadist dikatakan bahwa mencuri merupakan tanda hilangnya iman seseorang. Dalam hadits juga disebutkan : “Tidaklah beriman seorang pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman seorang peminum khamar ketika ia sedang meminum khamar. Tidaklah beriman seorang pencuri ketika ia sedang mencuri”. (H.R al-Bukhari dari Abu Hurairah : 2295)
            Perbuatan mencuri membawa dampak yang sangat merugikan, antara lain:
> Menimbulkan kerugian dan kekecewaan, peristiwa pencurian akan sangat merugikan dan menimbulkan kekecewaan bagi korbannya.
> Menimbulkan ketakutan, peristiwa pencurian menimbulkan rasa takut bagi korban dan masyarakat karena mereka merasa harta bendanya terancam.
> Munculnya hukum rimba, perbuatan pencurian merupakan perbuatan yang mengabaikan nilai-nilai hukum. Apabila terus berlanjut akan memunculkan hukum rimba dimana yang kuat akan memangsa yang lemah.
            Mencuri adalah dosa besar, dan dalam hukum islam hukuman seorang pencuri adalah sebagai berikut:
1.        mencuri yang eprtama kali, maka dipotong tangan kanannya
2.        mencuri kedua kalinya, dipotong kaki kirinya
3.        mencuri yang ketiga kalinya, dipotong tangan kirinya
4.        mencuri yang keempat kalinya, dipotong kaki kanannya
5.        kalau masih mencuri, maka ia dienai hukuman mati.
Karena hukuman mencuri dalam islam sangat berat, maka hukuman hudud yang wajib dikenakan keatas pencuri adalah:
1.        Mengikui hukum syarak yang dikuatkan dalam Qanun jenayah syar’iyyah, orang yang boleh didakwa dibawah kesalahan kes sariqah (mencuri) dan wajib dikenakan hukuman hudud ialah:
a.       Orang yang berakal
b.      Orang yang baligh
c.       Dengan kemauan sendiri
2.        Pencuri yang gila atau kanak-kanak atau orang yang kurang akalnya (tidak siuman) tidak wajib dikenakan hukuman hudud, sekalipun mereka itu mengambil harta atau barangan orang itu secara bersembunyi dengan tujuan untuk memiliki harta atau barangan itu. Sebagaiman Hadits Rasulullah s.a.w:
     ”Allah tidak akan menyiksa tiga golongan manusia iaitu orang yang tidur hingga ia bangun dari tidurnya, kanak-kanak hingga ia baligh dan orang gila hingga ia berakal (siuman)” (Riwayat Ahmad, Ashabi, sunan dan Hakam).
3.        Orang yang dipaksa mencuri dengan cara kekerasan, misalnya orang yang diancam dan diugut akan dibunuh jika tidak mahu mencuri. Sebagaimana hujjah Hadith Rasulullah s.a.w yang bermaksud:
     ”Sesungguhnya Allah menghapuskan dosa umatku yang tersalah, terlupa dan dosa mereka yang dipaksa melakukan sesuatu kesalahan”.
(Riwayat Ibnu Majah dan Baihaq’i dan Lain daripada keduanya).
4.        Orang yang terpaksa mencuri disebabkan tersangat lapar (kebuluran) atau terlalu dahaga yang boleh membawa kepada maut tidak boleh juga dikenakan hukuman hudud, kerana mereka yang dalam keadaan tersebut adalah termasuk dalam darurat yang diharuskan oleh syarak melakukan perkara yang dilarang. Kes ini adalah merujuk kepada Kaedah Fiqhiyyah yang bermaksud :
     ” Darurat (dalam keadaan yang memaksa) diharuskan melakukan perkara yang dilarang”. ( Al-Ashbah dan An-Nazhair).

Dalam perkara (3) dan (4) mereka itu terlepas dari hukuman hudud, tetapi hakim boleh mengenakan hukuman takzir keatas pencuri itu mengikut kea’rifan dan kebijaksanaannya.
            Kejahatan mencuri takkan dapat dipunahkan kecuali menerapkan syariat Islam, yaitu memotong tangan pelakunya. Apabila meninjau keadaan masyarakat kita sekarang, maka akan terlihat berbagai macam kasus pencurian yang sebagian besar telah sampai ke tangan kehakiman untuk diusut perkaranya. Tentu saja hal ini akan memakan waktu yang banyak bagi para hakim, sehingga mereka tidak sempat menangani kasus-kasus lainnya. Dan jika sempat menangani, terpaksa harus menunggu beberapa tahun lamanya. 
            Sesudah itu, siapakah yang bertanggungjawab terhadap masalah ini? Tentu saja yang bertanggungjawab adalah undang-undang itu sendiri. Seorang pencuri berani melakukan pencurian, karena dirinya merasa tenang. Paling berat, apabila ia tertangkap polisi, ia hanya akan dihukum beberapa bulan atau beberapa tahun. Dan masa yang ia habiskan dalam penjara terlalu sedikit dibandingkan dengan hasil yang diperolehnya. Hasil yang diperolehnya akan bisa menjamin penghidupannya sampai ia mati. Apabila ia keluar dari penjara, terkadang hasil pencuriannya itu bisa membuatnya kaya mendadak. 
            Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa kebanyakan pencuri apabila kembali kepada masyarakat setelah menjalani hukumannya, mereka melakukan pencurian lagi. Sehingga keamanan masyarakat tetap terganggu. Berikut merupkan kutipan yang diambil dari harian ‘An-Nahar’ tertanggal 2-5-1974 : “Polisi keamanan, kemarin telah menangkap seorang buronan bernama … umur 39 tahun. Setelah ditangkap ia mengaku telah melakukan pencurian sebanyak tujuh belas kali dengan cara menerobos dan mencongkel. Pencurian itu dilakukan di rumah penduduk di kota Beirut dan sekitarnya. Jumlah barang yang berhasil diambil diperkirakan lebih dari 300.000 lire Libanon. Berupa perhiasan, televisi dan barang-barang elektronik lainnya. Hasil penjualan barang curian tersebut ia belanjakan untuk bermain judi, melacur dan berfoya-foya. Setelah diadakan penyelidikan terhadap terdakwa, ternyata ia baru saja sebulan keluar dari penjara; ia termasuk salah seorang residivist”. 
            Kisah-kisah semacam ini selalu dimuat oleh beberapa harian, karena tiap hari selalu terjadi peristiwa pencurian. 
            Para pencuri sekarang sudah memiliki komplotan-komplotan yang berakibat mengancam keamanan. Undang-undang buatan manusia sekarang tidak sanggup lagi mengatasi pencurian yang telah tersebar di mana-mana.
            Dalam menerapkan hukuman bagi para pencuri, Islam memandang para pelaku sebagai terpidana. Siapa saja yang terbukti melakukan pencurian, maka tangannya harus dipotong tanpa mempedulikan derajat pencuri tersebut. Berikut ini merupakan sebuah kasus pencurian di zaman Rasulullah SAW, yang dapat dijadikan teladan bagi kita semua :
 روي انه فى زمن النبي صلى الله عليه وسلم اتهمت امرأة من نبي مخزوم بالسرقة فلما ثبتت عليها الجريمة امر النبي بقطع يدها. وقد فزع بنو مخزوم لهذا العار الذى سينالهم من تطبيق حكم السرقة على امرأة من اشرافهم, فقصدوا أسامة بن زيد الذى كان مقربا من النبي صلى الله عليه وسلم ليشفع لهم بشأن هذه المرأة فلكم النبي فى العفو عنها, فكان جواب النبي : (اتشفع فى حد من حدود الله) ثم دعا المسلمين وخطبهم قائلا : (أيها الناس إنما أهلك من كان قبلكم انهم كانوا يقيمون الحد على الوضيع ويتركون الشريف, والذي نفسى بيده لو ان فاطمة (اي بنت النبي) فعلت ذلك لقطعت يدها (رواه البخارى

“Diceritakan bahwa di zaman Nabi SAW, seorang wanita dari Bani Makhzum dituduh mencuri. Ketika terbukti bahwa ia telah melakukan pencurian, Rasulullah SAW memerintahkan agar ia segera dihukum potong tangan. Orang-orang Bani Makhzum terkejut mendengar berita memalukan yang akan menimpa salah seorang wanita keturunan terhormat mereka karena pasti akan dipotong tangannya. Lalu mereka menghubungi sahabat Utsamah ibnu Zaid yang menjadi kesayangan Nabi, agar ia mau memintakan grasi dari Rasulullah terhadap wanita kabilahnya. Kemudian Utsamah memohon grasi untuk wanita tersebut, dan ternyata jawaban beliau : “Apakah kamu meminta grasi terhadap salah satu hukuman had Allah?”. Kemudian Nabi memanggil semua kaum muslimin lalu beliau berpidato : “Wahai umat manusia, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah hancur, karena mereka menerapkan hukuman had terhadap orang yang lemah, sedangkan yang mulia, mereka biarkan saja. Demi Dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya Fathimah (anak Nabi) mencuri, maka pasti akan kupotong tangannya”( Hadits riwayat Bukhari). 

Dalam menerapkan hukuman mencuri, Islam telah mengatur terlaksananya hukuman tersebut. Beberapa syarat berikut ini sebagai ganti cara hati-hati dan adil:
·       Barang yang dicuri adalah berharga. Sedangkan kadar barang yang dicuri tersebut, pada zaman Nabi diperkirakan seperempat dinar atau lebih. Ada suatu hadits yang mengatakan :
 تقطع اليد فى ربع دينار فصاعدا 
 “Tangan harus dipotong karena mencuri seperempat dinar dan selebihnya”. 
·       Barang yang dicuri tersebut tersimpan pada tempatnya. Adapun barang yang hilang atau tertinggal di jalan umum tanpa ada yang menjaga, dalam hal ini tidak dilakukan hukuman potong tangan. Dan buah yang masih menempel di pohon tanpa ada tembok yang mengitarinya atau binatang ternak yang dilepaskan tanpa penggembala, dalam keadaan seperti ini hukuman potong tangan tidak diberlakukan. Tetapi sebagai penggantinya ialah hukuman ta’zir (penjara), di samping harus mengembalikan barang yang dicuri dan membayar harga barang yang dicuri. Demikian pula dengan pencurian yang dilakukan menggunakan mulut, atau dengan kata lain, dimakan ketika mencuri, seperti mencuri buah-buahan di pohon, namun ia tidak membawanya. Barang siapa membawa buah-buahan tersebut selain dari apa yang telah dimakannya, maka ia harus membayar dua kali lipat harga yang dicuri beserta hukuman ta’zir.
·       Bagi yang mempunyai barang diperbolehkan memberi maaf kepada pencuri setelah ia menangkapnya, dengan syarat kasusnya belum sampai ke tangan hakim. Tetapi apabila kasusnya sudah sampai ke tangan hakim maka tiada maaf bagi pencuri. 
·       Tidak boleh dilaksanakan hukuman mencuri baik berupa had, atau ta’zir atau dendaan, apabila yang melakukan pencurian terdorong oleh lapar. Karena khalifah Umar RA tidak melaksanakan hukuman had terhadap para pencuri di kala negara sedang dilanda kelaparan. 
            Apabila para ahli fiqih berbicara tentang masalah pencurian, maka yang dimaksud ialah pencurian kecil-kecilan, yang pada hakekatnya barang yang diambil tersebut, dicuri secara diam-diam tanpa melalui kekerasan. 
            Adapun mengenai pencurian besar-besaran, seperti melakukan pendorongan di rumah atau di gudang dan di jalan, serta merampas uang, barang-barang, kendaraan dengan cara paksa dan kekerasan sehingga korban tidak sempat meminta tolong, maka hal ini termasuk dalam bab hirabah (menimbulkan kerusakan). Hukumannya berbeda dengan hukuman mencuri biasa, dan hukuman yang diterimanya lebih berat. Perbuatan seperti ini amat membahayakan keamanan masyarakat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar