MENCURI
DALAM PANDANGAN ISLAM
Disusun guna memenuhi tugas UTS:
Mata kuliah: Fiqh II
Dosen pengampu : Masrur M. E. I
Disusun Oleh :
LAILA
ZULFA
NIM: 2021 111 238
Kelas : F
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2012
PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah Yang
Maha Besar, sebab atas petunjuk dan pertolongan-Nya, artikel yang berjudul
Mencuri dalam Pandangan Islam ini dapat dipersembahkan kepada Bapak Masrur M.
E. I dan pembaca yang budiman.
Artikel ini hadir selain untuk
memenuhi tugas juga untuk ikut berpartisipasi memperkaya khazanah literatur di
bidang hukum Islam.
Islam menanggulangi kasus pencurian
dengan cara mendidik dan membersihkan jiwa manusia dengan akhlak yang luhur,
agar jangan berkeinginan memiliki hak orang lain. di samping itu, Islam
mengajak kaum muslimin agar giat bekerja mencari penghidupan; membenci
pengangguran dan mencela sifat kikir atau terlalu mengejar keduniaan.
Islam juga menjamin penghidupan
orang-orang yang invalid dan kaum fakir miskin dari harta orang-orang kaya di
antara kaum muslimin. Kemudian, uang tersebut dikelola oleh pemerintah untuk
diteruskan kepada yang berhak. Harta tersebut dinamakan harta zakat. Dengan
demikian, maka Islam telah mencanangkan suatu sistem yang mampu menjamin
kesejahteraan sosial bagi individu dan masyarakat. Setelah itu, kiranya tidak
perlu seseorang melanggar hak-hak orang lain. dan barang siapa yang masih tetap
membangkang dan tidak mau menuruti peraturan ini, atau masih mau mencuri, maka
patut ia mendapat hukuman yang setimpal.
Berikut ini penjelasan Allah
mengenai hukuman pencuri : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang”. (QS. 5
: 38).
Untuk selanjutnya akan dibahas
masalah pencurian dalam islam secara lebih rinci. Semoga bisa sedikit memberi
wawasan mengenai pencurian dari sudut pandang hukum islam.
ISI
Mencuri dalam Islam
Mencuri adalah mengambil harta milik
orang lain dengan tidak ada hak untuk dimilikinya tanpa sepengetahuan
pemiliknya. Mencuri hukumnya adalah haram. Di dalam hadist dikatakan bahwa
mencuri merupakan tanda hilangnya iman seseorang. Dalam hadits juga disebutkan
: “Tidaklah beriman seorang pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman
seorang peminum khamar ketika ia sedang meminum khamar. Tidaklah beriman
seorang pencuri ketika ia sedang mencuri”. (H.R al-Bukhari dari Abu Hurairah :
2295)
Perbuatan mencuri membawa dampak
yang sangat merugikan, antara lain:
>
Menimbulkan kerugian dan kekecewaan, peristiwa pencurian akan sangat merugikan
dan menimbulkan kekecewaan bagi korbannya.
> Menimbulkan ketakutan, peristiwa pencurian menimbulkan rasa takut bagi korban dan masyarakat karena mereka merasa harta bendanya terancam.
> Munculnya hukum rimba, perbuatan pencurian merupakan perbuatan yang mengabaikan nilai-nilai hukum. Apabila terus berlanjut akan memunculkan hukum rimba dimana yang kuat akan memangsa yang lemah.
> Menimbulkan ketakutan, peristiwa pencurian menimbulkan rasa takut bagi korban dan masyarakat karena mereka merasa harta bendanya terancam.
> Munculnya hukum rimba, perbuatan pencurian merupakan perbuatan yang mengabaikan nilai-nilai hukum. Apabila terus berlanjut akan memunculkan hukum rimba dimana yang kuat akan memangsa yang lemah.
Mencuri adalah dosa besar, dan dalam
hukum islam hukuman seorang pencuri adalah sebagai berikut:
1.
mencuri
yang eprtama kali, maka dipotong tangan kanannya
2.
mencuri
kedua kalinya, dipotong kaki kirinya
3.
mencuri
yang ketiga kalinya, dipotong tangan kirinya
4.
mencuri
yang keempat kalinya, dipotong kaki kanannya
5.
kalau
masih mencuri, maka ia dienai hukuman mati.
Karena hukuman mencuri dalam islam sangat berat, maka hukuman hudud
yang wajib dikenakan keatas pencuri adalah:
1.
Mengikui hukum
syarak yang dikuatkan dalam Qanun jenayah syar’iyyah, orang yang boleh didakwa
dibawah kesalahan kes sariqah (mencuri) dan wajib dikenakan hukuman hudud
ialah:
a.
Orang yang
berakal
b.
Orang yang
baligh
c.
Dengan
kemauan sendiri
2.
Pencuri
yang gila atau kanak-kanak atau orang yang kurang akalnya (tidak siuman) tidak
wajib dikenakan hukuman hudud, sekalipun mereka itu mengambil harta atau
barangan orang itu secara bersembunyi dengan tujuan untuk memiliki harta atau
barangan itu. Sebagaiman Hadits Rasulullah s.a.w:
”Allah tidak akan menyiksa tiga golongan manusia iaitu orang yang tidur hingga ia bangun dari tidurnya, kanak-kanak hingga ia baligh dan orang gila hingga ia berakal (siuman)” (Riwayat Ahmad, Ashabi, sunan dan Hakam).
”Allah tidak akan menyiksa tiga golongan manusia iaitu orang yang tidur hingga ia bangun dari tidurnya, kanak-kanak hingga ia baligh dan orang gila hingga ia berakal (siuman)” (Riwayat Ahmad, Ashabi, sunan dan Hakam).
3.
Orang yang
dipaksa mencuri dengan cara kekerasan, misalnya orang yang diancam dan diugut
akan dibunuh jika tidak mahu mencuri. Sebagaimana hujjah Hadith Rasulullah
s.a.w yang bermaksud:
”Sesungguhnya Allah menghapuskan dosa umatku yang tersalah, terlupa dan dosa mereka yang dipaksa melakukan sesuatu kesalahan”.
(Riwayat Ibnu Majah dan Baihaq’i dan Lain daripada keduanya).
”Sesungguhnya Allah menghapuskan dosa umatku yang tersalah, terlupa dan dosa mereka yang dipaksa melakukan sesuatu kesalahan”.
(Riwayat Ibnu Majah dan Baihaq’i dan Lain daripada keduanya).
4.
Orang yang
terpaksa mencuri disebabkan tersangat lapar (kebuluran) atau terlalu dahaga
yang boleh membawa kepada maut tidak boleh juga dikenakan hukuman hudud, kerana
mereka yang dalam keadaan tersebut adalah termasuk dalam darurat yang
diharuskan oleh syarak melakukan perkara yang dilarang. Kes ini adalah merujuk
kepada Kaedah Fiqhiyyah yang bermaksud :
” Darurat (dalam keadaan yang memaksa) diharuskan melakukan perkara yang dilarang”. ( Al-Ashbah dan An-Nazhair).
” Darurat (dalam keadaan yang memaksa) diharuskan melakukan perkara yang dilarang”. ( Al-Ashbah dan An-Nazhair).
Dalam perkara (3) dan (4) mereka itu terlepas dari hukuman hudud, tetapi hakim boleh mengenakan hukuman takzir keatas pencuri itu mengikut kea’rifan dan kebijaksanaannya.
Kejahatan mencuri takkan dapat dipunahkan
kecuali menerapkan syariat Islam, yaitu memotong tangan pelakunya. Apabila
meninjau keadaan masyarakat kita sekarang, maka akan terlihat berbagai macam
kasus pencurian yang sebagian besar telah sampai ke tangan kehakiman untuk
diusut perkaranya. Tentu saja hal ini akan memakan waktu yang banyak bagi para
hakim, sehingga mereka tidak sempat menangani kasus-kasus lainnya. Dan jika
sempat menangani, terpaksa harus menunggu beberapa tahun lamanya.
Sesudah itu, siapakah yang
bertanggungjawab terhadap masalah ini? Tentu saja yang bertanggungjawab adalah
undang-undang itu sendiri. Seorang pencuri berani melakukan pencurian, karena
dirinya merasa tenang. Paling berat, apabila ia tertangkap polisi, ia hanya
akan dihukum beberapa bulan atau beberapa tahun. Dan masa yang ia habiskan
dalam penjara terlalu sedikit dibandingkan dengan hasil yang diperolehnya.
Hasil yang diperolehnya akan bisa menjamin penghidupannya sampai ia mati.
Apabila ia keluar dari penjara, terkadang hasil pencuriannya itu bisa membuatnya
kaya mendadak.
Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa
kebanyakan pencuri apabila kembali kepada masyarakat setelah menjalani
hukumannya, mereka melakukan pencurian lagi. Sehingga keamanan masyarakat tetap
terganggu. Berikut merupkan kutipan yang diambil dari harian ‘An-Nahar’
tertanggal 2-5-1974 : “Polisi keamanan, kemarin telah menangkap seorang
buronan bernama … umur 39 tahun. Setelah ditangkap ia mengaku telah melakukan
pencurian sebanyak tujuh belas kali dengan cara menerobos dan mencongkel. Pencurian
itu dilakukan di rumah penduduk di kota Beirut dan sekitarnya. Jumlah barang
yang berhasil diambil diperkirakan lebih dari 300.000 lire Libanon. Berupa
perhiasan, televisi dan barang-barang elektronik lainnya. Hasil penjualan
barang curian tersebut ia belanjakan untuk bermain judi, melacur dan
berfoya-foya. Setelah diadakan penyelidikan terhadap terdakwa, ternyata ia baru
saja sebulan keluar dari penjara; ia termasuk salah seorang residivist”.
Kisah-kisah semacam ini selalu
dimuat oleh beberapa harian, karena tiap hari selalu terjadi peristiwa
pencurian.
Para pencuri sekarang sudah memiliki
komplotan-komplotan yang berakibat mengancam keamanan. Undang-undang buatan
manusia sekarang tidak sanggup lagi mengatasi pencurian yang telah tersebar di
mana-mana.
Dalam menerapkan hukuman bagi para
pencuri, Islam memandang para pelaku sebagai terpidana. Siapa saja yang
terbukti melakukan pencurian, maka tangannya harus dipotong tanpa mempedulikan
derajat pencuri tersebut. Berikut ini merupakan sebuah kasus pencurian di zaman
Rasulullah SAW, yang dapat dijadikan teladan bagi kita semua :
روي انه فى زمن النبي صلى الله عليه وسلم اتهمت امرأة من نبي
مخزوم بالسرقة فلما ثبتت عليها الجريمة امر النبي بقطع يدها. وقد فزع بنو مخزوم
لهذا العار الذى سينالهم من تطبيق حكم السرقة على امرأة من اشرافهم, فقصدوا أسامة
بن زيد الذى كان مقربا من النبي صلى الله عليه وسلم ليشفع لهم بشأن هذه المرأة
فلكم النبي فى العفو عنها, فكان جواب النبي : (اتشفع فى حد من
حدود الله) ثم دعا المسلمين وخطبهم قائلا : (أيها الناس إنما أهلك من كان قبلكم
انهم كانوا يقيمون الحد على الوضيع ويتركون الشريف, والذي نفسى بيده لو ان فاطمة
(اي بنت النبي) فعلت ذلك لقطعت يدها (رواه البخارى
“Diceritakan
bahwa di zaman Nabi SAW, seorang wanita dari Bani Makhzum dituduh mencuri.
Ketika terbukti bahwa ia telah melakukan pencurian, Rasulullah SAW
memerintahkan agar ia segera dihukum potong tangan. Orang-orang Bani Makhzum
terkejut mendengar berita memalukan yang akan menimpa salah seorang wanita
keturunan terhormat mereka karena pasti akan dipotong tangannya. Lalu mereka
menghubungi sahabat Utsamah ibnu Zaid yang menjadi kesayangan Nabi, agar ia mau
memintakan grasi dari Rasulullah terhadap wanita kabilahnya. Kemudian Utsamah
memohon grasi untuk wanita tersebut, dan ternyata jawaban beliau : “Apakah kamu
meminta grasi terhadap salah satu hukuman had Allah?”. Kemudian Nabi memanggil
semua kaum muslimin lalu beliau berpidato : “Wahai umat manusia, sesungguhnya
orang-orang sebelum kalian telah hancur, karena mereka menerapkan hukuman had
terhadap orang yang lemah, sedangkan yang mulia, mereka biarkan saja. Demi Dzat
yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya Fathimah (anak Nabi)
mencuri, maka pasti akan kupotong tangannya”( Hadits riwayat Bukhari).
Dalam
menerapkan hukuman mencuri, Islam telah mengatur terlaksananya hukuman tersebut.
Beberapa syarat berikut ini sebagai ganti cara hati-hati dan adil:
·
Barang yang dicuri adalah berharga.
Sedangkan kadar barang yang dicuri tersebut, pada zaman Nabi diperkirakan
seperempat dinar atau lebih. Ada suatu hadits yang mengatakan :
تقطع اليد فى ربع دينار فصاعدا
“Tangan
harus dipotong karena mencuri seperempat dinar dan selebihnya”.
·
Barang yang dicuri tersebut
tersimpan pada tempatnya. Adapun barang yang hilang atau tertinggal di jalan
umum tanpa ada yang menjaga, dalam hal ini tidak dilakukan hukuman potong
tangan. Dan buah yang masih menempel di pohon tanpa ada tembok yang
mengitarinya atau binatang ternak yang dilepaskan tanpa penggembala, dalam
keadaan seperti ini hukuman potong tangan tidak diberlakukan. Tetapi sebagai
penggantinya ialah hukuman ta’zir (penjara), di samping harus mengembalikan
barang yang dicuri dan membayar harga barang yang dicuri. Demikian pula dengan
pencurian yang dilakukan menggunakan mulut, atau dengan kata lain, dimakan
ketika mencuri, seperti mencuri buah-buahan di pohon, namun ia tidak
membawanya. Barang siapa membawa buah-buahan tersebut selain dari apa yang
telah dimakannya, maka ia harus membayar dua kali lipat harga yang dicuri
beserta hukuman ta’zir.
·
Bagi yang mempunyai barang
diperbolehkan memberi maaf kepada pencuri setelah ia menangkapnya, dengan
syarat kasusnya belum sampai ke tangan hakim. Tetapi apabila kasusnya sudah
sampai ke tangan hakim maka tiada maaf bagi pencuri.
·
Tidak boleh dilaksanakan hukuman
mencuri baik berupa had, atau ta’zir atau dendaan, apabila yang melakukan
pencurian terdorong oleh lapar. Karena khalifah Umar RA tidak melaksanakan
hukuman had terhadap para pencuri di kala negara sedang dilanda
kelaparan.
Apabila para ahli fiqih berbicara
tentang masalah pencurian, maka yang dimaksud ialah pencurian kecil-kecilan,
yang pada hakekatnya barang yang diambil tersebut, dicuri secara diam-diam
tanpa melalui kekerasan.
Adapun mengenai pencurian
besar-besaran, seperti melakukan pendorongan di rumah atau di gudang dan di
jalan, serta merampas uang, barang-barang, kendaraan dengan cara paksa dan
kekerasan sehingga korban tidak sempat meminta tolong, maka hal ini termasuk
dalam bab hirabah (menimbulkan kerusakan). Hukumannya berbeda dengan hukuman
mencuri biasa, dan hukuman yang diterimanya lebih berat. Perbuatan seperti ini
amat membahayakan keamanan masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar