Jumat, 14 Februari 2014

KHILAFIYAH KENAJISAN KHAMR



KHILAFIYAH KENAJISAN KHAMR
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas:
Mata kuliah: Fiqh I
Dosen pengampu : Ali Trigiatno M, Ag.



Oleh:
                                                    Laila Zulfa                   (2021111238)
Kelas : F



JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2012



PENDAHULUAN
            Islam memeperhatikan atau mementingkan didalam tasyri’-tasyri’nya dengan menjelaskan cara untuk menegakkan akhlaq atau budi pekerti, dan mendidik perangai. Islam juga mengajak manusia gar jauh dari segala yang memerosokkan martabat dan mengancam kesehatan seseorang. Hal itu semata-mata agar manusia mencapai keluhuran yang tinggi diantara makhluk-makhluk lain. Oleh karena itu Allah mengharamkan apa yang memabukkan, disebaban dapat mendatangkan kemadarratan untuk kesehatan dan kejiwaan yang akan menimpa kepada personil dan mengancam masyarakat dengan petaka.
            Khamr itu sesuatu yang memabukkan. Allah mengharamkannya dengan nash-nash yang sharih(jelas) melalui Al-qur’an dan hadits.




PEMBAHASAN
A.      Khamr atau Arak
Khamr berasal dari kata As-satr (menutup). Yang dimaksud khamr adalah sejenis minuman yang memabukkan (menutupi kesehatan akal). Khamr termasuk kategori minuman yang merupakan hasil olahan manusia.[1]
Surat Al-maidah 90-91
“Wahai orang-orang yang beriman hanya sanya khamr dan judi dan undian serat patung-patung itu keji (buruk sekali) ia dari perbuatan syaitan, maka jauhilah akan dia olehmu, agar kalian jadi orang-orang yang sama berbahagia. Hanya sanya syetan itu berkehendak untk mengobarkan antara kalian permusuhan dan kebencian didalam khamr dan judi itu, dan menghalangi kalian dari berdzikir kepada Allah dan dari Sholat, maka tidak sukakah kalian menghentikannya.”[2]
Kata “rijsun” diartikan dengan najis, tetapi najis yang dimaksudkan adalah najis apabila diminum. Dengan demikian, arak itu najis jika diminum, tetapi tidak najis apabila dipegang atau menempel pada tempat-tempat tertentu, misalnya pada pakaian atau sajadah.
Misalnya, ada hadis yang mengatakan bahwa orang musyrik itu najis maka yang dimaksudkan adalah kemusyrikannya yang najis, sedangkan orangnya tidak najis. Jika orangnya najis, berarti Allah menciptakan Allah menciptakan manusia najis. Sebagaimana ada yang berpendapat bahwa air mani itu najis, sedangkan asal-usul manusia dari air mani yang bercampur dengan ovum sel telur pada perempuan. Jika keduanya najis, berarti asal-usul kelahiran manusia berasal dari benda yang najis, dan itu sangat tidak mungkin karena manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang sempurna jasmani dan rohaninya.
Dengan demikian, apakah khamr itu najis? Jawabnya, “ya, karena najis maka haram untuk diminum”. Lalu apakah memegang khamr itu najis atau haram? Tentu tidak, karena larangannya bukan haram dipegang, tetapi haram diminum. Jika khamr dimanfaatkan untuk memijat tubuh, membersihkan kuman, dan keperluan kedokteran lainnya, sepanjang tidak untuk diminum, hukumnya boleh karena pada dasarnya arak itu suci.
Demikian pula, patung adalah benda yang tidak najis, sehingga apabila orang muslim memegang patung, hukumnya boleh. Akan tetapi, jika orang muslim menyembah patung, perbuatannya itu najis dan haram. Berjudi itu najis, tetapi alat judinya tidak najis.
Dengan pandangan tersebut, firman Allah yang menyatakan bahw arak, judi, berhala, dan bertenung itu najis, maksudnya adalah perbuatan yang najis, bukan benda-benda yang najis.[3]
Khamr adalah bahan yang mengandung alkohol yang memabukkan. Khamr dan judi berasal dari perbuatan syaitan, sedang syaitan hanya gemar berbuat yang tidak baik dan mungkar. Oleh karena itulah al-qur’an menyerukan kepada umat islam untuk menjauhi kedua perbuatan itu sebagai jalan menuju kepada kebahagiaan.
Selanjutnya, al-qur’an menjelaskan juga tentang bahaya arak dan judi dalam masyarakat, yang diantaranya dapat mematahkan orang untuk mengerjakan sholat dan menimbulkan permusuhan dan kebencian. Bahayanya dalam jiwa adalah dapat menghalangi untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agama. Diantaranya adalah Dzikrullah dan sholat.
Terakhir, al-qur’an menyerukan supaya kita berhenti dari meminum arak dan bermain judi. Seruannya diungkapkan dengan kata-kata yang tajam sekali, yaitu dengan kata-kata fahal antum muntahun? (apakah kamu tidak mau berhenti?), jawab seorang mu’min terhadap seruan ini, “Ya, kami telah berhenti, Ya Allah..!”

1.      Setiap yang memabukkan adalah arak
Pertama kali yang dicanangkan Rasulullah tentang masalah arak adalah bahwa beliau tidak memandangnya dari segi bahan yang dipakai untuk membuat arak itu, tetapi dari segi pengaruh yang ditimbulkan yaitu memabukkan. Oleh karena itu bahan apapun yang nyata-nyata memabukkan berarti arak, merek dan nama yang dipergunakan oleh manusia dan bahan apapun yang dipakai. Oleh karena itu, bird an sejenisnya dapat dihukumi haram.
Rasulullah SAW, pernah ditanya tentang minuman yang terbuat dari madu atau dari gandum dan syair yang diperas sehingga menjadi keras. Nabi Muhammad SAW, sesuai sifat pembicaraannya yang pendek tetapi padat, maka didalam menjawab pertanyaan tersebut beliau sampaikan dengan kalimat yang pendek juga, tetapi padat.
“Semua yang memabukkan adalah arak, dan setiap arak adalah haram.” (HR. Muslim)
Umar bin Khattab ra, pun mengumumkan pula dari atas mimbar nabi, “Bahwa yang dinamakan arak ialah segala sesuatu yag dapat menutup fikiran.” ( HR. Bukhari dan Muslim).[4]

B.       Hukum Khamr
Hukum minuman pada dasarnya adalah halal, kecuali ada nash atau hadits yang melarangnya.[5]
1.         Hadits Pertama
Anas berkata, “Aku pernah bertugas menjadi pelayan, menuangkan minuman kepada para tamu di rumah Abu Thalhah, dan khamr mereka pada waktu itu adalah al-fadhikh yang dibuat dari campuran korma muda (al-busr) dan korma kering (al-tamr), tiba-tiba Rasulullah  menyuruh orang berseru, “Ingatlah bahwa khamr telah diharamkan.”

·       Penjelasan Hadits
Al-Fadhikh adalah kupasan korma mentah yang dicampur dengan air lalu dimasak hingga mendidih. Korma yang dikupas itu adalah korma muda sebelum menjadi rutob (korma basah).
a.         Imam An-Nawawi mengatakan hadits ini adalah dalil yang jelas mengenai keharaman semua jenis nabidz (minuman keras dari anggur) yang memabukkan meski bermacam bentuknya, namun semuanya lazim disebut khamr. Tidak peduli apakah minuman keras itu berasal dari korma muda atau tua, anggur, kismis, jagung, juga madu. Demikian, menurut madzhab Asy-Syafi’i, Maliki, Serta Jumhur ulama, baik salaf maupun khalaf.
b.        Sekelompok Ulama Bashrah berpendapat, bahwa yang diharamkan adalah perasan dari anggur dan rendaman kismis murni. Meski keduanya dimasak atau direndam, hukumya adalah halal, selama ketika diminum tidak memabukkan.
c.         Imam Abu Hanifah berkata, “Yang diharamkan adalah perasan dari buah korma dan anggur.” Salah satu perasan anggur itu bernama sulafah, sedikit atau banyaknya tetap diharamkan kecuali dimasak hingga berkurang kadar alkoholnya.

2.         Hadits Kedua
Imam Muslim meriwayatkan dari Amru bin Al-Harits bahwa Qatadah bin Diamah menceritakan bahwa Anas bin Malik berkata,
“Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang mencampurkan korma dan az-zahwu (bunga korma)1 kemudian meminumnya, dan waktu itu bertepatan dengan hari dimana khamr diharamkan.”
Az-Zahwawu adalah bunga korma yang muncul ketika korma terlihat berwarna kuning kemerahan di pohonnya.

3.         Hadits Ketiga
Diriwayatkan juga dari Anas bahwa Nabi pernah ditanya mengenai khamr yang menjadi cuka. Nabi bersabda, “Tidak mengapa.”

·      Penjelasan Hadits
Imam An-Nawawi  berkomentar. “ Ini adalah dalil larangan penyucian khamr dengan menjadikannyacuka yang dipakai oleh Imam Asy-Syafi’i dan Jumhur ulama. Meski dicampur denagn roti, bawang, atau ragi (enzim), tetap saja tersisa unsure kenajisannya. Tapi, jika dijemur di bawah sinar matahari, ada beberapa pendapat yaitu :
1)        Menjadi suci,
Sebagaiman Imam Syafi’i, Iman Ahmad, Malik, Imam Auza’i, Laits bin Saad, Abu Hanifah, dan Jumhur ulama yang menyatakan khamr tidak akan suci atau hilang kenajisannya dengan mencampurkan unsur-unsur seperi diatas
2)        Haram dan tidak suci.
3)        Halal dan suci.
Jumhur ulama juga bersepakat jika khamr tersebut berubah dengan sendirinya  menjadi cuka, maka ia menjadi suci. Hanya Imam Sahnun dari Madzhab Maliki saja yang menganggapnya tidak suci.

4.         Hadits Keempat
 Diriwayatkan oleh Muslim dari Wa’il Al-Hadhrami bahwa Thariq bin suwaid Al-Ju’fi bertanya pada Nabi SAW tentang khamr. Nabi pun melarangnya  atau membenci siapa saja yang membuatnya. Suwaid berkata, “Bagaimana kalau dibuat untuk obat?’ Nabi SAW bersabda, “khamr itu bukanlah obat, tapi penyakit.”[6]
Imam An-Nawawi mengomentari hadits tersebut berkata, “Hadits ini menjadi dalil keharaman khamr dan menjadikannya cuka. Keterangan tambahan lain adalah haram menjadikannay obat karena ia bukanlah obat. Seakan-akan perihal berobat ini tidak dijelaskan apa penyebab (penyakit) yang mendasarinya.
Imam At-Tirmidzi dan ulama hadits lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata, “Nabi SAW melarang berobat dengan sesuatu yang kotor.” Abu Isa At-Tirmidzi berkomentar, “Sesuatu yang kotor itu racun.”
Hadits-hadits diatas secara lahir bertentangan dengan riwayat-riwayat berikut. Dari Qatadah dari Anas ra.yang berkata “Rasulullah SAWmemberi keringanan kepada Zubair bin Al-Awwam dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera disebabkan penyakit gatal (bintik-bintik pada kulit) yang menimpa keduannya.”
Sementara riwayat dari Imam At-Tirmidzi dari Anas, bahwa Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Al-Awwam mengadu pada Nabi tentang penyakit kutu yang menimpa mereka dalam sebuah perang yang tengah mereka ikuti. Nabi pun member keringanan pada mereka untuk memakai kain sutera.
Kenyataannya, beberapa hadits ini menunjukkan kebolehan untuk berobat dengan sesuatu yang diharamkan. Sedang redaksi hadits-hadits sebelumnya melarang untuk berobat dengan sesuatu yang najis dan diharamkan. Di sini, jelas kita dapati pertentangan. Maka, solusi terbaik dalam hal ini adalah membawa hadits-hadits berobat dengan sesuatu yang najis dan haram pada hokum makruh. Karena larangan untuk menghukumi haram pada kasus ini membutuhkan penanda larangan yang benar-benar pasti (jazm). Sedag apa yang disabdakan Rasulullah dalam hal ini tidak menunjukkan larangan yang benar-benar pasti.   

C.      Pengaruh Khamr terhadap Kesehatan
Dan sesungguhnya bahwa ilmu kedokteran ikut serta memperkokoh hikmah didalam mengharamkan minuman khamr dari segi kesehatan. Dan bahaya khamr terhadap jasmani secara umum banyak sekali. Diantara contohnya, fungsi-fungsi alat syaraf pusat yang mengakibatkan kepada sempuyungan dan kedua mata berputar-putar dan telinga pun berdengung-dengung. Ia juga melemahkan fikiran dan daya ingat, serta kehilangan nafsu makan dan terjadi debaran jantung yang kuat, menipiskan alat pencernaan makanan, kerusakan pada hatia, serta penyakit kekurangan gizi makanan. Kemudian hilang kesadaran dan penyakit rawan alcohol yang mengakibatkan kematian
Maka apabila kita berbicara tentang pengaruh khamr secara rinci adalah sebagai berikut:
1.         “Khamr mempunyai pengaruh menyisihkan lender disebagian besar otak, sehingga mengakibatkan pada buluh-buluh atau butir-butir dan alat perasa menjadi kurang”.
2.         Khamr menambah produksi minyak pada kulit, juga memperbesar pori-pori kulit sehingga mengakibatkan kulit menjadi licin.
3.         Khamr menyebabkan gatal-gatal pada kulit.
4.         Khamr menyebabkan kulit pecah-pecah.
5.         Khamr dapat mengurangi vitamin-vitamin yang sangat bermanfaat bagi tubuh, sehingga mengakibatkan mudah terserang penyakit-penyakit kekurangan gizi atau vitamin.
6.         Mengakibatkan berkurangnya zat seng dalam tubuh yang menyebabkan penyakit kulit. Bahkan bertumpuk-tumpuk penyakit kulit yang dikenal dengan nama boorferia bagi si penderita. Boorferia adalah penyakit yang timbul karena getaran-getaran didalam materi boorferin. Penyakit ini menimbulkan pecah-pecah dan juga perubahan warna pada kulit. Rambut wajah akan tumbuh lebih banyak sehingga tampak lebih tua dari umur yang sebenarnya. Kulit juga sangat sensitive terhadap sinar matahari.
7.         Minum khamr menyebabkan lemah berdiri.[7]




KESIMPULAN
Khamr berasal dari kata As-satr (menutup). Yang dimaksud khamr adalah sejenis minuman yang memabukkan (menutupi kesehatan akal). Khamr termasuk kategori minuman yang merupakan hasil olahan manusia.
Pertama kali yang dicanangkan Rasulullah tentang masalah arak adalah bahwa beliau tidak memandangnya dari segi bahan yang dipakai untuk membuat arak itu, tetapi dari segi pengaruh yang ditimbulkan yaitu memabukkan. Oleh karena itu bahan apapun yang nyata-nyata memabukkan berarti arak, merek dan nama yang dipergunakan oleh manusia dan bahan apapun yang dipakai. Oleh karena itu, bird an sejenisnya dapat dihukumi haram.
                                                                    


DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoere, 1997.
Hamid, Abdul dan Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ibadah, Bandung : CV Pustaka Setia, 2009.
Hilal, Haitsam Jum’ah Al-, Makanan & Minuman dalam Islam, Jakarta : Al-Kautsar, 2009.
Mun’im, Abdul, Pandangan Islam Terhadap Penyakit Kulit dan Kelamin, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1987.
Qardhawi, Muhammad Yusuf, Halal dan Haram, Jakarta : PT. Bina Ilmu Offset, 2007.
Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, 1998.
islamwiki.blogspot.com/../khamr.html
pgriciampea-smp.site90.net/BungaRam
www.ustsarwat.com>All
ikrinalasfia.blogspot.com




[1] Abd. Mun’im, Pandangan Islam terhadap Penyakit Kulit dan Kelamin, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1987), hal.55
[2] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, 1998). Hal. 74.

[3] Abdul Hamid dan Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ibadah, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2009), hal. 169-170

[4] Muhammad Yusuf  Qardhawi, Halal dan Haram, (Jakarta: PT. Bina Ilmu Offset, 2007), hal.89-92
[5] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoere, 1997), hal. 119

[6] Haitsam Jum’ah Al- Hilal, Makanan & Minuman dalam Islam, (Jakarta : Al-Kautsar, 2009).hal.87

[7] Abdul Mun’im,  Pandangan Islam Terhadap Penyakit Kulit dan Kelamin, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1987). Hal. 59-63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar